Minggu, 27 Februari 2011

Kecerdasan ..... " Quotient"

          Kita sering dengar penilaian guru terhadap anak didiknya :" Anak itu memang  paling cerdas di kelas saya....".   Tapi kadang ada juga komentar teman-teman dan guru terhadap mantan muridnya yang kini sukses; "Wah padahal dia dulu paling trouble di kelas dan sering gak buat PR, tapi sekarang bisa jadi pengusaha sukses ya.....".    Ada pernah saya dengar suatu pendapat tentang Pendidikan, bahwa sekolah-sekolah perlu juga mengembangkan kecerdasan siswanya melalui berbagai kegiatan yang menjadi pengalaman berharga bagi mereka dalam kegiatan ekstra kurikuler yang bermanfaat, karena IQ ( Intellgence Quotient) hanya berperan sebagian kecil saja dalam kesuksesan hidup seseorang, selebihnya ditentukan kecerdasan lainnya. Di lingkungan dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, EQ, SQ dan AQ) perlu mendapat bobot perhatian yang seimbang. Hal ini penting mengingat IQ saja tidak menjamin keberhasilan hidup seseorang, demikian juga kalau haya sekedar SQ dan EQ tidak akan mampu mendukung keberhasilan hidup seseorang secara utuh, material dan spritual.
Menurut berbagai referensi yang saya baca, ada baiknya kita memahami macam-macam kecerdasan yang perlu kita kembangkan, juga pada anak-anak kita.
           Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar
            Kecerdasan biasanya merujuk pada kemampuan atau kapasitas mental dalam berpikir, namun belum terdapat definisi yang memuaskan mengenai kecerdasan. Stenberg& Slater (1982) mendefinisikannya sebagai tindakan atau pemikiran yang bertujuan dan adaptif.
           Saat ini cukup popular tentang tiga kecerdasan manusia, yaitu: IQ, EQ, dan SQ, namun muncul juga istilah AQ. Nah penjelasan berikut- dari berbagai sumber- mungkin bermanfaat bagi kita:
Intellgence Quotient (IQ) adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika dan rasio seseorang. Dengan demikian, hal ini berkaitan dengan keterampilan berbicara, kesadaran akan ruang, kesadaran akan sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika. IQ mengukur kecepatan kita untuk mempelajari hal-hal baru, memusatkan perhatian pada aneka tugas dan latihan, menyimpan dan mengingat kembali informasi objektif, terlibat dalam proses berpikir, bekerja dengan angka, berpikir abstrak dan analitis, serta memecahkan permasalahan dan menerapkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Jika IQ kita tinggi, kita memiliki modal yang sangat baik untuk lulus dari semua jenis ujian dengan gemilang, dan meraih nilai yang tinggi dalam uji IQ.
Emosional Quotient (EQ) mempunyai dua arah dan dua dimensi, arah ke dalam (personal) berarti sebuah kesadaran diri (self awareness), penerimaan diri (self acceptance), dan hormat diri (self respect), dan penguasaan diri (self mastery) dan arah keluar (interpersonal) berarti kemampuan memahami orang (to understand others), menerima orang (to accept others), mempercayai orang (to trust others), dan mempengaruhi orang (to influence others). Singkatnya, EQ adalah serangkaian kecakapan yang memungkinkan kita melapangkan jalan didunia yang rumit, aspek pribadi, sosial, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan kepekaan yang penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari. Dalam bahasa sehari-hari, EQ disebut sebagai akal sehat.
Pentingnya IQ dan EQ dalam mencapai kesuksesan ini dibuktikan oleh para pelaku terbaik sejarah manusia bumi, diantaranya adalah Bill Gates, orang terkaya di dunia, sang pemilik royalti Microsoft, Larry Ellison CEO of Oracle orang terkaya nomor dua, Michael Dell CEO dari DEL Corp., orang terkaya nomor tiga dan masih banyak lagi. Sepintas kita dibuat takjub oleh keunggulan kekuatan IQ dan EQ manusia. Namun ketakjuban itu tak berlangsung lama. Kita kembali tersentak oleh hasil akhir teori IQ dan EQ. bukankah semuanya hanya berorientasi kebendaan dan hubungan antar manusia semata? tiadakah teori lain yang dapat melahirkan sebuah muara selain hanya materi dan hubungan antara manusia? Bukankah hanya mengejar kebendaan, berarti hanya mencakup satu tujuan saja, yaitu amaliyah duniawi yang manifes, aktual dan fana?
Munculah teori SQ
Spiritual Quotient (SQ) intinya adalah transendensi, yaitu proses penyeberangan, pelampauan, penembusan makna yang lazim, khususnya dari wilayah material ke wilayah spiritual, dan dari bentuk yang kasar ke bentuk yang sublime. Dalam hal ini hidup bukan semata-mata untuk memperoleh materi semata akan tetapi harus betul-betul dihayati sebagai serangkaian amal bagi sesama manusia dan beribadah kepada Tuhan. Sehingga tidak cukup jika kita hanya mengandalkan kecerdasan intelegensi dan emosional saja. Mempertebal iman dan taqwa kita akan membangun budi dan akhlak mulia sehingga segala sesuatu yang kita lakukan semata-mata mohon perkenan dan ridho Tuhan, sehingga apa yang kita kerjakan akan terasa bermakna, nikmat, dan kita lakukan penuh dengan suka cita, tanpa keterpaksaan belaka.
SQ (kecerdasan spiritual), yang merupakan temuan terkini secara ilmiah, pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang SQ diantaranya adalah : pertama, riset ahli psikologi/syaraf, Michael Persinger pada awal tahun 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S Ramachandran dan timnya dari California University, yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia. Ini sudah built-in sebagai pusat spiritual yang terletak diantara jaringan syaraf manusia.
Sedangkan bukti kedua adalah riset ahli syaraf Austria, Wolf Singer pada era 1990-an yang menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan syaraf yang secara literal "mengikat" pengalaman kita secara bersama untuk "hidup bermakna”" Pada God-Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam.
Akan tetapi SQ dari barat tersebut belum atau bahkan menjangkau ketuhanan. Pembahasannya baru sebatas tataran biologi atau psikologi semata, tidak bersifat transedental. Akibatnya kita masih merasakan adanya "kebuntuan"
Maka muncullah teori ESQ (Emotional and Spiritual Quotient), dan kita patut bersyukur karena teori ini ditemukan di Indonesia oleh Ary Ginanjar Agustian beberapa tahun yang lalu. Beliau mengatakan bahwa kebenaran sejati, sebenarnya terletak pada suara hati yang bersumber dari Spiritual Center ini, yang tidak bisa ditipu oleh oleh siapapun, atau oleh apapun, termasuk diri kita sendiri. Hal ini digambarkan beliau dalam ESQ model® berdasarkan Rukun Islam dan Rukun Iman.
Esensi dari teori ESQ ini adalah :
1.    Kita bisa melihat kebenaran jika emosi kita jernih. Beliau menemukan bahwa ada beberapa hal yang dapat menutupi kejernihan emosi kita yaitu: pengaruh prasangka negatif, pengaruh prinsip hidup, pengaruh pengalaman, pengaruh kepentingan & prioritas, pengaruh sudut pandang, pengaruh pembanding, dan pengaruh literatur.
2.    Alam pikiran sangat berpengaruh dalam kesuksesan, dan cara membangunnya adalah melalui Rukun Iman, sehingga nantinya akan terbentuk karakter manusia yang memiliki tingkat kecerdasan emosi dan spiritual yang tinggi seperti keadaan awal fitrah manusia.
3.    Perlunya pengasahan hati yang telah terbentuk melalui Rukun Islam yang terdiri atas : pernyataan misi melalui dua kalimat Syahadat, pembangunan karakter melalui Shalat, pengontrolan diri melalui Puasa, Hubungan sosial melalui Zakat dan total aksi melalui Haji. Hal ini dilakukan secara sistematis.

Nah, yang terakhir adalah Adversitas Quotient (AQ), pernah dengar? Menurut kamus adversity berarti kemalangan, kesulitan, dan penderitaan. AQ disini adalah kecerdasan kita pada saat menghadapi segala kesulitan tersebut. Beberapa orang mencoba untuk tetap bertahan menghadapinya, sebagian lagi mudah takluk dan menyerah. Dengan demikian kecerdasan adversitas adalah sebuah daya kecerdasan budi-akhlak-iman manusia menundukkan tantangan-tantangannya, menekuk kesulitan-kesulitannya, dan meringkus masalah-masalahnya sekaligus mengambil keuntungan dari kemenangan-kemenangan itu.
  Pernahkah Anda merasa hidup begitu menakutkan? Hidup begitu tak menyisakan apa-apa selain rasa cemas yang berlebihan terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi? Uang tinggal sedikit, sementara penghasilan tidak menentu? Kesulitan datang bertubi-tubi mendera jiwa Anda. Pernahkah Anda mengalami ini?

Pernahkah Anda kebingungan sendiri melihat semua hal seperti tak sesuai dengan yang Anda rencanakan? Semuanya seperti meleset dari rencana? Kelam seperti menyelimuti kehidupan Anda? Dingin seakan membekukan kalbu Anda? Kala segalanya seperti tak berpihak? Anda seperti tengah terhimpit di dasar kehidupan Anda? Roda kehidupan Anda tengah melindas diri dan jiwa Anda? Anda tak punya pilihan? Pernahkah Anda merasa seperti ini? Atau saat ini justru perasaan seperti itu yang tengah Anda rasakan?

TANYA JIWA
Calm down, my friend! Itulah adversitas (kesulitan) yang sangat akrab dengan hidup! Semakin tinggi tingkat kesulitan yang sedang kita hadapi, semakin besar pelajaran yang bisa dicermati. Sejalan dengan ini John Gray, berkata, “Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa untuk tumbuh.”

Yang perlu dilakukan hanyalah satu, perkuat fighting spirit Anda! Teruslah melangkah menuruti kata hati Anda. Tetapkan jiwa Anda untuk selalu fokus pada berkah dan kemuliaan hidup. Lumuri kalbu Anda dengan segala kebaikan. Ingat, pasti masih banyak rahmat yang patut kita syukuri. Sekarang perkenankan saya bertanya ke jiwa Anda. (Berikan tanda √ pada setiap pertanyaan).
• Apakah Anda masih bebas menghirup oksigen?
• Apakah Anda masih bisa melihat?
• Apakah Anda masih bisa mendengar?
• Apakah Anda masih bisa membaca?
• Apakah Anda masih bisa berjalan?
• Apakah Anda masih bisa tersenyum?
• Apakah Anda masih sehat?
• Apakah Anda masih bisa makan?
• Apakah Anda masih memiliki seseorang yang Anda cintai?

Apabila sebagian besar pertamyaan itu Anda conteng, “Selamat!” Karena masih banyak yang lain yang tak seberuntung kita. Tersenyumlah dan bergembiralah pada segala karunia hari ini. Tidakkah matahari masih bersinar? Tidakkah burung-burung masih berkicau? Tidakkah kita masih bebas menikmati segala rahmat dari alam? Inilah core dari sebuah kecerdasan mengungguli rintangan hidup. Sebuah kebulatan hati untuk terus mendaki, meski tapak kaki bak tersayat belati!

Inilah kecerdasan yang harus kita miliki agar kita mampu mengubah kesulitan menjadi sebuah tantangan, dan hidup ini akan menjadi lebih berkualitas. Senada dengan ini Mihalyi Csikzentmihaly menulis, “Dari semua sifat yang bisa kita pelajari, tidak ada watak yang lebih bermanfaat, lebih penting bagi kelangsungan hidup, dan lebih besar kemungkinannya untuk memperbaiki mutu kehidupan, daripada kemampuan untuk mengubah kesulitan menjadi tantangan yang menyenangkan.”
Banyak hal dalam hidup yang tak terelakkan. Suka atau tidak, hal itu akan terjadi. Sebaik apa pun kita, sedahsyat dan seluar biasa apa pun pikiran kita, semulia apa pun hidup yang kita jalani, tetap saja terkadang nestapa akan menghampiri. Bila kita rela menerimanya, maka kebahagiaan pun akan menghias hati dan pikiran kita. Epictetus, berkata, “There is only one way to happiness, and that is to cease worrying about things which are beyond the power of our will.” (Satu-satunya cara untuk bahagia adalah jangan pernah mengkhawatirkan segala hal yang terjadi di luar kemampuan kita).
Ada kata-kata Henry Ford, yang mungkin perlu saya dan Anda renungkan, “When I can’t handle events, I let them handle themselves.” Kata-kata ini hampir mirip dengan ucapan teman konyolku, Bojang, yang dengan gurauan khasnya, dan bahasa tubuh yang theatrical nan memukau, berkatalah dia dengan lantangnya, “Stop! Aku tak ingin lagi memikirkan hidup yang sulit, biarlah hidup, sekarang, yang memikirkanku!” Lalu kami semua tertawa mendengarnya. Ini seperti kalimat cerdas yang keluar dari seorang filusuf, padahal ini keluar dari mulut seseorang yang SD pun tidak tamat.
Keikhlasan kita menerima hal-hal yang tak bisa dihindari memberikan kekuatan pada jiwa untuk dengan tenangnya mengambil langkah-langkah yang bisa membawa kita pada pencapaian yang jauh lebih tinggi. Setelah jiwa kita berpelukan mesra dengan adversitas (kesulitan) maka kejernihan akan mengalirkan segala kedamaian. Kita kemudian menjadi pengontrol dari respons kita terhadap setiap aral yang merintang di jalan kita. Ini pada gilirannya akan berpengaruh positif dan menyehatkan tidak hanya bagi jiwa tapi juga raga kita. Kita akan menjadi raja atas hati kita. Kita adalah penguasa atas perasaan Kita!

(Diambil dari The Power of Emotional & Adversity Quotient for Teachers by Dani Ronnie M dan berbagai sumber lainnya)

Tidak ada komentar: