Sabtu, 17 September 2011

Standar Pelayanan Minimal: Peluang dan Tantangan Layanan Terpadu untuk Perempuan Korban Kekerasan

SPM: SOP Layanan, Standar Pembiayaan, dan Pedoman Sistem Pencatatan Data Kekerasan
           SPM menyediakan panduan mengenai prinsip umum layanan, kode etik bagi petugas layanan, informasi standar bagi korban dan keluarganya serta skema alur layanan terpadu. Lima SOP yang dikembangkan yakni untuk layanan pengaduan, layananan kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum, dan pemulangan dan integrasi diupayakan bertujuan untuk mendukung UPT di P2TP2, UUPA (dahulu RPK), Puskesmas, Rumah Sakit, Lembaga Bantuan Hukum, dan pusat UPT lainnya.
        SOP untuk layanan pengaduan secara khusus memberikan panduan mengenai penanganan pengaduan, prosedur penerimaan pengaduan (melalui telepon, surat, datang langsung), intervensi klinis, layanan rujukan, dan penjangkauan korban. SOP ini dilengkapi dengan berbagai formulir isian yang dapat digunakan digunakan oleh UPT dalam penanganan pengaduan. SOP layanan kesehatan memberikan panduan mengenai dampak dan penanganan kesehatan terkait dengan kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak korban kekerasan baik secara fisik maupun psikologis. SOP ini memuat prosedur layanan kesehatan, sistem rujukan, dan evaluasi terhadap penyediaan layanan kesehatan. Lampiran tambahan dalam SOP ini menjelaskan lebih detil mengenai penanganan dan pemeriksaan korban serta berbagai formulir isian yang relevan.
         SOP rehabilitasi sosial menyediakan panduan terkait dengan penyediaan rumah aman, konseling, rujukan, dan bimbingan rohani bagi perempuan korban kekerasan. Adapun SOP mengenai bantuan dan penegakan hukum pada dasarnya untuk memperkuat layanan di Kepolisian yakni di lingkup UUPA. SOP layanan pemulangan dan reintegrasi sosial nampaknya dibuat khusus untuk penanganan pemulangan perempuan TKW dan perempuan korban trafficking, sehingga panduan dalam SOP ini juga melibatkan Kedutaan Besar RI.
        Selain membuat lima SOP, SPM juga membuat pedoman sistem pencatatan dan pelaporan data kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tujuan pencatatan ini adalah agar setiap UPT di tiap tingkatan pemerintahan memiliki pencatatan proses penanganan kasus yang lengkap. Namun alur pencatatan tidak menegaskan dengan jelas tujuan akhir dari proses pencatatan. Tidak ada penjelasan apakah proses pencatatan berhubungan dengan pencatatan data kriminalitas di bahwa mandat Kepolisian RI. Padahal UUPA merupakan bagian dari prosedur layanan dalam salah satu SOP dalam SPM.
         Untuk kelancaran pelaksanaan SPM, maka sebuah standar pembiayaan terjadi ke lima bidang layanan disediakan oleh SPM dalam pedoman tersendiri. Standar pembiayaan menyediakan komponen pembiayaan dan contoh standar biaya untuk kebutuhan pelaksanaan lima macam layanan di bawah UPT.
         Gap dan Tantangan
        Berbagai pedoman yang dikembangkan di bawah SPM pada dasarnya merupakan pengembangan dari layanan terpadu yang selama ini telah didiskusikan oleh berbagai organisasi perempuan. Komnas Perempuan secara khusus bahkan telah membahas konsep ini dan mengujicobakannya dengan RSCM, sebuah Rumah Sakit Nasional di Jakarta. Adapun konsep layanan terpadu yang dikedepankan oleh Komnas Perempuan mengusung keterlibatan berbagai kementrian terkait (KPPA, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Kepolisian). Keterlibatan kementrian terkait merupakan wujud kongrit dukungan pelaksanaan layanan terintegrasi dari pemerintah. Dengan demikian, implikasi hukum dan kebijakan yang timbul dari UPT akan langsung ditangani oleh lembaga pemerintah terkait (Diarsi 2004).
          SPM memang menyediakan pedoman dan SOP layanan yang lengkap namun tidak mengarahkan kemana implikasi kebijakan yang timbul dari UPT ini. Tidak ada konsep dan penjelasan yang memaparkan keterkaitkan kementrian terkait sebagaimana usulan awal yang telah dibangun oleh Komnas Perempuan. Selain itu, SPM tidak mengaitkan potensi keberadaan pencatatan data kekerasan berbasis gender di bawah UPT dengan data Kepolisian. Padahal selama ini organisasi perempuan telah mengajukan persoalan minimnya data kekerasan berbasis gender di bawah institusi Kepolisian. Dalam situasi ini, pencatatan data yang akan dihasilkan oleh UPT berpotensi untuk menjadi tumpukan data yang kurang bermakna.
        Gap terbesar dari SPM ini adalah tiadanya keterkaitan langsung antara proses layanan UPT dan penyelidikan di bawah Kepolisian. Padahal SPM telah menegaskan bahwa pengulangan keterangan korban sangat berpengaruh pada dampak psikologis perempuan korban kekerasan. Adalah benar bahwa SOP mengenai layanan kesehatan menyediakan layanan komprehensif untuk perempuan korban kekerasan seksual, namun pedoman SPM berfokus pada memberikan panduan ‘pemulihan psikologis’ semata dan belum memasukkan ‘pengambilan data untuk kepentingan penyidikan’. Hal ini merupakan akibat dari penulisan SPM tidak langsung ditempatkan pada konteks reformasi hukum dan kebijakan untuk layanan terpadu.
        Minimnya penegasan mengenai keterlibatan instansi pemerintah dan lembaga hukum terkait merupakan tantangan besar bagi koordinasi layanan terpadu yang dibangun dibawah SPM. Kendati SPM menunjukkan peran-peran instansi pemerintah dan lembaga hukum terkait, namun tanpa dasar hukum yang menegaskan keterkaitan lembaga tersebut dalam layanan UPT menyebabkan tidak adanya insentif bagi mereka untuk berkoordinasi dalam penyediaan layanan UPT. Pertanyaan yang lebih kongkrit lagi: bagaimana mendorong Kepolisian menggunakan temuan data kekerasan seksual yang dihasilkan oleh layanan kesehatan di bawah UPT tanpa keterlibatan Kepolisian secara institusional?
       SPM sungguh membangun suatu UPT dengan dasar keniscayaan bahwa UPT akan berjalan dengan sendirinya tanpa dasar kebijakan dan insentif bagi para pihak yang terlibat di dalam nya. KPPA perlu mengeluarkan addendum SPM mengenai keterlibatan instansi pemerintah dan lembaga hukum jika SPM ingin berguna dan berdampak secara efektif bagi perempuan korban kekerasan.

Dikutip dari :
Diarsi et.al. (2004) Layanan Terpadu: Pertautan Multi Disiplin dan Sinergi Kekuatan Masyarakat dan Negara. Jakarta: Komnas Perempuan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2010) Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Jakarta: KPPA.

Tidak ada komentar: